Minggu, 20 Januari 2013

Plus Minus Film Religi Kita

Plus Minus Film Religi Kita





 H. Deddy Mizwar
Pemain Film Senior, Sutradara dan Produser
Tiap menjelang bulan Ramadhan, film televisi atau sinetron bernuansa Islami selalu mewarnai layar televisi kita di rumah. Berbeda dengan sinetron-sinetron kelaziman yang selalu mengangkat kehidupan kaum metropolitan yang berkutat di persoalan percintaan, konflik keluarga dan permasalahan remaja.
Film bernuansa religi hadir dengan warna lain. Meski tidak secara langsung mengedepankan dakwah. Paling tidak, misi dari film religi kita bisa memberikan nilai tertentu. Seperti nilai-nilai moral dan Islam yang disampaikan untuk menebarkan “percikan iman” kepada para penontonnya.
Betapa tidak, banyak sinetron bernunasa religi yang diminati jutaan pemirsa sehingga banyak pihak menanggapi bahwa film layar kaca sangat berpengaruh dalam menjalani kehidupan ber-islam kita. Nilai-nilai moral, nilai-nilai ibadah dan muamalah yang disampaikan oleh para pemain film seakan-akan dijadikan “rujukan” yang perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diakui pemain film senior tanah air, H. Deddy Mizwar. Sebagai sutradara dan produser film yang tidak diragukan lagi, Pak Haji mengamini bila film religi kita memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter para pemirsanya. Meski diakui film hanya rangkaian dari sebuah skenario, para penonton akan begitu sedih apabila menyaksikan adegan menyedihkan dan tertawa ketika menyaksikan adegan hiburan.
“Film boleh dikatakan menjadi media efektif dalam menyampaikan sesuatu kepada para penontonnya. Tak terkecuali dalam menyampaikan nilai-nilai moral dan misi kemanusian untuk merefleksikan suatu fenomena dan budaya masyarakat kekinian atau yang terjadi pada jamannya. Maka, boleh jadi sutradara membuat film itu ingin menggambarkan suatu realitas yang terjadi,” kata Pak Haji dalam suatu acara kepada wartaislam.com.
Tapi, Deddy pun tidak sependapat jika film religi kita mampu dijadikan media dakwah secara utuh. Dunia film selalu berhubungan dengan banyak pihak. Contohnya dengan dana, ide cemerlang, stasion televisi yang menayangkan film, para pengiklan untuk mendukung penayangannya dan beberapa pihak lain yang sangat menjamin film ini bisa tampil di layar kaca.
Makanya, film religi tidak selalu bias dijadikan media dakwah. Plus minus film religi kita inilah yang perlu diketahui khalayk banyak, khususnya bagi mereka yang sel;alu mengkritisi film relegi yang tayang di televisi.
“Mohon dimaklum saja. Tanpa dana dan dukungan dari para stasion televisi, peiklan dan lainnya. Suatu film religi tidak bisa tampil dan dinikmati para penontonnya. Oleh karenanya, dunia film dan dakwah belum bisa disatu padukan, kecuali kita memiliki dana dan stasion televisi sendiri tanpa memikirkan banyak biaya dan banyak resikonya,” ungkap Deddy.
Menurut Deddy, dakwah harus tetap dijalankan di majelis dan masjid dan dilakukan oleh para ulama dan ustad atau para mubaliq. Mesti dirasa perlu di lakukan di dunia film, dakwah itu hanya sebatas penyampaian-penyampaian sederhana dan bersifat tidak mendalam. Karena tidak mungkin pemain film mampu berdakwah secara komprehensif.
Dilihat dari segi keilmuan pun, kata Deddy, para pemain film pun akan berpikir dua kali kalau harus berdakwah tok dalam setiap perannya. Tanggung jawab dakwah itu harus dipertanggungjawab secara ilmu dan pemahaman yang baik dan benar. Maka untuk disadari semua pihak, pak Haji mengajak memahami kondisi dunia film religi kita.
Film religi kita pun tidak bisa dipisahkan dengan persoalan materi, kalau tidak berlebihan disebut bisnis. Mengingat biaya produksi film yang membutuhkan biaya sampai milyaran maka diakui atau tidak pihak yang berkepentingan tidak mau rugi, malah kalau bisa mendapat untung. Sehingga penayang film religi berupaya menaikan rating agar ada banyak pengiklan yang masuk.
Berperan dan Berdakwah
Dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Karena film dianggap cukup efektif untuk mengubah karakter masyarakat. Maka nilai-nilai dakwah mumpuni untuk dimasukan dalam skenario yang kemudian diperankan oleh para pemainnya. Meski tidak bersifat mendalam dan komprehensif dalam penyampaian dakwahnya, para pemain biasanya memerankan seolah-olah menjadi sosok sebenarnya dalam film itu.
Salah satu sifat keberhasilan dakwah adalah mampu berubah sikap kejiwaan seseorang. Dari tidak yang kenal dan paham ajaran Islam menjadi kenal dan paham, dari tidak mau beramal saleh menjadi rajin berusaha melakukannya, dari cinta melakukan hal yang maksiat menjadi sering menjauhinya.
Bila demikian halnya, pesan-pesan dakwah yang dilakukan dalam film relgi kita bisa mengakibatkan hilangnya kewibawaan sebagai umat muslim di hadapan-Nya, bahkan bisa mendapatkan kemurkaan-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (As-Shaff:2)
Begitu juga dalam dunia film. Kehidupan dalam film memang bukan nyata tapi tidak berarti boleh memerankan sosok yang alim dalam sebuah film religi namun dalam kehidupan nyatanya, masih belum merefleksikan kehidupan dalam sinetron yang dijalaninya. Tentu saja, ini menjadi persoalan yang perlu mendapatkan perhatian.
Sebut saja bagi akhwat yang berperan berjilbab dalam filmya, tapi dalam kehidupan sehar-harinya belum berhijab. Begitu juga dbagi para ihkwannya, berperan sebagai ustad atau orang alim, tapi dalam kehidupan sehari-harinya belum menunjukkan identitas Islami yang sesuai dengan apa yang diperankannya.
Tentunya saja hal ini membuat prihatin banyak pihak. Pasalnya, menampilkan sosok yang alim dalam film semestinya menyentuh dirinya sebelum tersampaikan kepada para penontonnya. Secara tidak langsung “adegan” alim dalam suatu tayangan menjadi bagian dari dakwah yang perlu dipertanggungjawab baik secara pribadi maupun sosial.
“Pemain film hanya melakukan perannya sesuai dengan skenario. Tapi ya idealnya mesti begitu. Semoga para pemain yang memerankan figur penyampai nilai-nilai kebajikan dapat membawa perannya dalam kehidupan sehari-harinya sebagaimana yang diharapkan  kita semua. Dan saya yakin para pemain juga memahami hal demikian,” kata Deddy.
Dalam menanggapi kritikan sebagian pihak mengenai hal itu, Deddy menjawab dengan bijak. Berbuat kebaikan itu harus dimulai dari diri kita sendiri. Begitu banyak persoalan umat yang belum terselesaikan dan kita harus bersatu dalam menyelesaikannya sesuai dengan profesi kita masing-masing.
Rasa-rasanya, kata Deddy, jangankan di dunia akting, di lembaga dakwah saja masih terdapat orang-orang yang masuk dalam golongan serupa itu. Dengan begitu, kebersamaan dan kebersatuan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan semua persoalan yang ada. “Duduk dalam satu meja untuk membicarakan hal yang bermanfaat bagi kelangsungan umat adalah hal yang bukan mustahil untuk dilakukan dalam mencari solusi terbaik,” pungkas Deddy.***(WI-004)